Daniel berketetapan
untuk tidak menajiskan
dirinya dengan santapan
raja dan dengan anggur
yang biasa diminum raja;
dimintanyalah kepada
pemimpin pegawai istana
itu, supaya ia tak usah
menajiskan dirinya.
(DANIEL 1:8)
Apakah Anda adalah orang yang menaati Tuhan
dengan segenap hati? Ataukah, Anda punya pengecualian jika dihadapkan pada
situasi-situasi khusus? “Saya mau taat, tetapi dalam situasi ini semua orang
juga pasti melakukannya.” “Saya mau taat, tetapi untuk urusan seperti ini tak
mungkin bisa jujur.” “Saya mau taat, tetapi apa salahnya mengikuti syarat
peningkatan jabatan dengan beralih keyakinan, bukankah itu hanya formalitas
saja?” “Saya mau taat, tetapi kesempatan ini sungguh sayang jika dilepas begitu
saja.”
Bayangkanlah
Anda ada pada posisi Daniel. Meski ia termasuk seorang buangan di Babel, ia
adalah seorang pemuda dari kaum bangsawan dan punya keunggulan dibanding yang
lain (ayat 4). Dengan modal itu ia punya kesempatan dididik secara khusus dan
nantinya bekerja bagi raja. Ia dan kawan-kawannya bahkan ditawari makan dan
minum dari santapan raja (ayat 5). Siapa pun pada zaman itu pasti mau. Lantas,
apa yang dilakukan Daniel dan kawan-kawannya? “Daniel berketetapan untuk tidak
menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum
raja” (ayat 8). Seolah-olah ia mau berkata: “Jabatan dan kesempatan itu
menggiurkan, tetapi saya hanya mau taat kepada Allah,” bukan “Saya tahu
santapan itu menajiskan, tetapi jabatan dan kesempatan itu mungkin bisa menjadi
sarana diplomasi.” Kata “tetapi” ditujukan kepada raja, bukan kepada Tuhan.
Integritas
dan iman kita sebagai orang kristiani akan kerap mendapat ujian. Setiap
keputusan membawa risiko. Akankah kita taat dalam segala situasi?
Pilihan-pilihan kita menunjukkan seberapa berharga Tuhan dibanding kedudukan,
keamanan, atau kenyamanan yang ditawarkan dunia.
Jangan ada
kata "tetapi" dalam menaati Tuhan.
Penyertaan-Nya
akan meneguhkan dan memampukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar